Jumat, 13 Maret 2015

Perselingkuhan Bi Nah si Penjual Togel

Perselingkuhan Bi Nah si Penjual Togel
Perselingkuhan Bi Nah si Penjual Togel

Pengalaman ini terjadi sekitar tujuh tahun lalu. Saat itu aku masih bujangan dan tinggal bersama orang tuaku di kota M. Di sebuah kawasan yang tergolong padat penduduk. Jarak antara satu rumah dengan lainnya berhimpitan dan cenderung kumuh. Maklum kebanyakan yang tinggal dari kalangan ekonomi papan bawah.
Persis di belakang rumahku, tinggal keluarga Pak Was. Pria yang berprofesi sebagai penarik becak ini hidup bersama Bi Nah istrinya dan anak bungsunya Karni yang masih balita. Sedang kedua anak mereka yang lain, Sri dan Drajat, telah merantau ke Jakarta dalam usia yang masih cukup belia.
Bi Nah punya usaha sampingan menjual kupon judi, semacam “Togel” yang populer sekarang ini. Hingga di rumahnya selalu banyak orang baik untuk merumus maupun memasang taruhan. Termasuk aku yang sering diminta untuk menulis dan mencatat taruhan pemasang dengan upah beberapa ribu rupiah. Sedang Pak Was, kalau sedang tidak narik becak lebih senang mabuk dengan Pak Dal, temannya yang berprofesi sebagai tukang kayu. Rumah Pak Dal berjarak sekitar delapan rumah dari rumah Pak Was.
Lama bergaul dengan keluarga Pak Was aku merasakan adanya keganjilan. Yakni soal hubungan Pak Dal dan Bi Nah. Keakraban keduanya, sepertinya tidak lazim. Di samping mereka sering ngobrol intim dan berbisik-bisik, beberapa kali aku memergoki tangan Pak Daliri meraba dan meremas pantat Bi Nah. Tentu saja saat Pak Wasjud tidak di rumah.
Saat itu usia Bi Nah menjelang 40 tahun. Memang sih wajahnya tidak tergolong cantik dan berkulit sawo matang. Namun dengan sosoknya yang tinggi besar dan berbuah dada menantang, wanita itu memang masih mampu menggetarkan syahwat laki-laki. Aku malah sering dibuat kelabakan bila melihat kancing dasternya yang terbuka mempertontonkan sebagian busungan payudaranya. Cara berpakaian Bi Nah memang sering sembarangan. Tetapi apa mungkin Pak Dal punya hubungan khusus dengan Bu Nah mengingat ia teman akrab Pak Was? Pikiran dan pertanyaan semacam itu sering melintas-lintas dalam anganku yang akhirnya terjawab juga.
Malam itu, sekitar pukul 22.30 WIB, terlihat Pak Was menaiki sepada onthel milik Pak Dal. Ia melintas melewati depan rumahku. “Mau kemana Pak?” sapaku. Ia berhenti, “Ini Rin mau beli sate dan anget-anget,” jawabnya. Lalu sebelum kembali menggenjot pedal sepada yang dinaikinya, “Nanti kamu ke rumah ya, ikut makan sate,” ujarnya lagi dan aku mengiyakan.
Aku senang dengan tawarannya itu karena memang sedang lapar. Tetapi kemana membeli sate dan minuman keras di malam selarut ini? Memang ada, tetapi jaraknya lebih dari tiga kilometer. Apa Pak Was harus pergi ke tempat sejauh itu? Ah, masa bodo yang penting kalau dapat bisa ikut makan.
Karena tawaran Pak Was, kendati aku yakin ia belum sampai, aku bermaksud ke rumah tetanggaku itu. Aku keluar lewat pintu dapur dengan membawa kunci agar mudah kalau mau pulang. Rumah Pak Was memang behimpit dengan pintu dapur rumahku dan hanya dibatasi lontrong sempit. Saat berada di lontrong kudengar suara mencurigakan. Suara mendesah Bi Nah yang diselingi suara lain dari laki-laki. Sepertinya suara Pak Dal. Arah suara itu datangnya dari kamar Pak Was dan istrinya.
Aku jadi ingin tahu. Bercampur kecurigaan yang selama ini kupendam, dengan berjingkat kudekati bagian kamar rumah Pak Was yang berdinding bambu. Aku merapat ke dinding. Jelas kudengar arahnya dari dalam kamar. Maka segera kucari lubang untuk mengintip yang tidak begitu sulit kudapatkan karena cukup banyak dindingnya yang berlubang.
Ah, benar seperti yang kukira. Bi Nah dengan Pak Dal memang selingkuh. Di kamar itu kulihat Bi Nah duduk di pangkuan Pak Dal yang terduduk di tepian ranjang. Keduanya sama-sama telanjang tanpa sehelai benang menutupi tubuh. Bahkan mulut Pak Dal tengah asyik mengulum dan menghisapi puting susu sebelah kiri Bi Nah. Sedang tangannya menggerayang dan meremasi yang sebelah kanan. Sesekali dipilin-pilinnya putingnya yang coklat kehitaman dan tampak mencuat.
Beberapa kali memang aku sempat melihat buah dada wanita itu. Tetapi hanya sebagian. Terutama bila ia tidak mengancingkan semua kancing dasternya. Terlebih bila di rumah, ia memang kerap tidak mengenakan kutang. Tetapi melihat keseluruhannya jauh lebih indah. Besar dan nampak masih kenyal. Pantas Pak Dal begitu asyik dengan mainannya itu sampai Bi Nah mendesah dan menggelinjang.
Jakunku turun naik dan degup jantungku kian terpacu saat Pak Dal mengganti permainan. Lepas dari buah dada Bi Nah, tangan Pak Dal merosot dan merayap ke paha dan selangkangan wanita itu. Bi Nah merenggangkan kaki. Seperti memberi kemudahan pada pasangannya untuk beraksi. Kini, kemaluan wanita itulah yang menjadi sasaran obok-obok tangan Pak Dal. Karena keterbatasan penerangan di dalam kamar, aku memang tidak bisa melihat secara detail bentuk kemaluan Bi Nah. Terlebih segera tertutup tangan Pak Dal yang mulai mengusap dan mungkin mencolek-coleknya. Namun sepintas, dari kehitaman yang nampak, aku yakin memek Bu Nah lebat tertutup oleh rambut yang tumbuh di sekitarnya.
Keseluruhan bangun tubuh Bi Nah memang aduhai. Setidaknya begitu pendapatku saat itu. Betapa tidak, postur tubuhnya tinggi besar montok dan berisi. Susunya juga besar, mengkal, meskipun agak turun. Serasi dengan pinggangnya yang ramping namun makin ke bawah makin membesar. Kakinya panjang indah menyerupai kaki belalang dengan paha yang nampak kekar. Ah, ingin rasanya aku jadi Pak Dal, bisa memangku dan mengusap apa yang ingin kupegang. Tak terasa kontolku jadi ikut tegang dan nafas menjadi tak teratur.
Bi Nah turun dari pangkuan Pak Dal. “Kang ayo kita mulai. Nanti Kang Was keburu datang lho,” kata wanita itu. Malam itu Bi Nah nampak lebih cantik dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Biasanya rambutnya lebih banyak digelung.
“Ah, tidak mungkin Nah. Beli sate dan minumannya kan cuma di tempat biasa. Paling dia belum sampai ke tukang sate itu. Dan katanya kamu mau ngemut iniku?” Pak Dal menjawab sambil menunjukkan kontolnya yang mengacung di selangkangannya. Ternyata punya Pak Daliri tidak besar-besar amat. Hanya ukurannya memang cukup panjang. Namun, dibandingkan dengan milikku, aku yakin masih kalah jauh. Punyaku, di samping berukuran besar, pernah kuukur diameternya sampai 5 CM lebih. Panjangnya juga mendekati 20 CM. Mungkin karena tubuhku yang bongsor.
“Ah besok saja. Takut Kang Was keburu datang. Makanya kalau mau diemut tidak usaha gerayangan dulu jadinya lama. Dan lagi aku sudah pengin,” ujar Bi Nah. Ia naik ke ranjang dan langsung tiduran mengangkang. Melihat lawannya sudah bersiap Pak Dal tak bisa menolak. Disusulnya Bi Nah dan langsung menindih wanita itu. Untung posisi tidur mereka persis membelakangi tempatku mengintip. Hingga aku bisa melihat semuanya, seperti close up yang sering tampil dalam film BF yang pernah kutonton.
Meski tak cukup jelas terlihat, kulihat penis Pak Dal dengan mudah menerobos masuk ke lubang vagina Bi Nah. Lalu seiring dengan pantat Pak Dal yang mulai naik turun, penisnya menjadi terayun keluar masuk dalam lubang memek itu. Penis Pak Dal nampak mengkilat, mungkin karena terlumuri cairan yang ada di dalam liang sanggama pasangannya. Keduanya nampak mendesah, menikmati permainan yang tengah dilakukannya. Sambil terus mengayun pantatnya, tangan Pak Dal tak henti bermain di payudara istri Pak Was. Sesekali tangan Bi Nah meremas pantat Pak Dal dan mencoba menekannya. Mungkin agar hunjaman penis pasangannya masuk lebih dalam.
Permainan menjadi semakin panas ketika kulihat pinggul Bi Nah mulai bergoyang. Goyangan pinggul dan pantatnya nampak memutar berirama. Ia bergoyang sambil merintih dan mendesah. Tak urung aku jadi makin terpengaruh. Sambil terus menatap ke dalam kukocok dan kuremas-remas sendiri kontolku seraya membayangkan nikmatnya digoyang istri Pak Was.
Pengaruh goyang pinggul Bi Nah rupaya juga berimbas pada Pak Dal. Pria itu mulai merintih-rintih dan tusukan kontolnya pada memek pasangannya menjadi kian cepat. Akhirnya, tubuhnya mengajang dan ia melenguh panjang. Rupanya ia telah mendapatkan puncak kenikmatannya. Dan itu bersamaan dengan keluarnya mani dari kontolku yang membaur dengan rasa nikmat yang ikut kurasakan. Sedang Bi Nah yang terus menggoyang tubuh bagian bawahnya, setelah sesaat mengejang dijambaknya rambut kepala Pak Dal. Kepala pria pasangannya itu dibenamkannya ke payudarannya untuk akhirnya sama-sama terdiam dan ambruk dengan peluh berleleran di sekujur tubuh mereka. Suasana terasa hening sesaat.
Bi Nah yang telah turun dari ranjang memungut dasternya yang teronggok di lantai. Namun Pak Dal berusaha mencegah. Pantat besar wanita itu diremasnya dan berusaha ditariknya mendekat. “Sudah ah, nanti gampang diulang lagi. Dan jangan lupa ya janjimu untuk membelikanku cincin,” kata Bi Nah sambil keluar dari kamar. Mungkin ke kamar mandi membersihkan diri. Sedang Pak Dal, dengan ogah-gahan turun dari ranjang dan kembali mengenakan pakaiannya.
Aku tidak langsung masuk ke rumah Pak Was kendati kudengar Bi Nah dan Pak Dal telah bercengkerama di ruang depan dengan pintu yang sengaja dibuka. Kutunggu Pak Was diujung jalan, baru bersama laki-laki itu aku masuk menemui pasangan selingkuh yang baru menikmati indahnya sorga dunia. Aku bersikap seolah tidak mengetahui apa yang telah terjadi hingga Bi Nah dan Pak Dal tidak curiga. Hanya, aku sering tidak bisa mengalihkan tatapanku pada busung dada istri Pak Was. Pukul 02.00 dini hari aku keluar dengan Pak Dal yang mulai mabuk karena minuman keras yang ditenggaknya.
Pak Dal tidak hanya mendatangi Bi Nah saat suaminya beli sate dan arak. Tapi di siang hari, saat suaminya mencari penumpang bisa saja ia melakukannya. Sebab sebagai penjual kupon judi, rumah Pak Was selalu dikunjungi mereka yang hendak merumus dan menebak angka jitu yang akan dipasangnya termasuk Pak Dal. Bisa saja saat sepi mereka jadi punya kesempatan untuk melakukannya. Aku pernah melihat Pak Dal keluar dari rumah Pak Was suatu siang, namun saat aku masuk kulihat Bi Nah hanya membalut tubuh dengan kain panjang dengan rambut acak-acakan dan tengah bersiap mandi.
Mangintip kamar Bi Nah akhirnya menjadi kebiasaanku di malam hari. Memang tidak selalu kutemukan adegan wanita itu tengah bersenggama. Sebab bungan seks Pak Was dan istrinya tergolong jarang. Mungkin karena usia atau kerja keras yang harus dilakukannya. Tetapi kalau Pak Was beli sate atas perintah Pak Dal, dipastikan ada permainan panas dan itu telah kubuktikan lebih dari sepuluh kali dan menjadikanku kian terobsesi pada wanita setengah baya itu.
Suatu hari, seperti biasa semenjak sore aku membantu Bi Nah melayani pembeli kupon judi. Sampai akhirnya harus membuat rekapan angka-angka yang dibeli para pemasang. Namun hingga pukul 21.00 malam Pak Was tak kunjung datang. Padahal dia yang biasanya menyetor uang dan data rekapan pada agen. “Kok Pak Wasjud belum datang Bi?” Bi Nah tengah menidurkan Karni, si bungsu anaknya di kamarnya.
“Pak Was diajak Pak Dal nonton wayang. Paling mereka pasang judi kopyok sampai pagi. Nanti yang setor Bibi. Dibonceng kamu ya Rin pakai sepedanya Pak Dal?” Aku mengangguk. Inilah kesempatan itu, pikirku membathin. Ya kesempatan meminta layanan dari Bi Nah. Tetapi bagaimana caranya? Apa dia tidak marah? Sebab mungkin di matanya aku masih remaja ingusan kendati sosokku tinggi besar. Ah, yang penting aku berani menyampaikan, pikirku lagi tanpa terucapkan.
Dalam perjalanan pulang dari menyetor ke agen kupon judi aku sengaja memperlambat kayuhan pedal. “Kalau Pak Dal dan Pak Was nonton wayang jadi tidak ada acara makan sate ya Bi?” Ujarku memberanikan diri.
“Iya memang. Kalau kamu pengin sate, upahmu kan bisa digunakan untuk membeli beberapa tusuk. Nanti biar Bi Nah tambahi sedikit,” jawa Bi Nah, tak tahu arah pembicaraanku.
“Tetapi kan kurang asyik,” ujarku lagi.
“Kurang asyik bagaimana?”
“Kalau yang beli sate Pak Was kan aku bisa asyik nonton film BF-nya Bi Nah dan Pak Dal,” kataku lebih menegaskan.
Jleg! Bi Nah langsung turun dari boncengan tetapi sambil memegangi sepeda yang kukendarai. “Maksudmu soal film BF itu apa Rin, Bibi benar tidak tahu,” ujarnya keras. Ia agak panik.
“Anu lho Bi, sebenarnya aku sering ngintip Bibi saat begituan dengan Pak Dal,”
Reaksinya seperti yang kukira. Ia sangat kaget. Dan dengan merajuk dipeganginya tanganku sambil berucap, “Rin Bibi minta tolong. Kamu jangan cerita sama siapa-siapa apalagi pada Pak Was. Tolong ya Rin. Nanti Bibi lah yang belikan sate,”
“Aku tidak kepingin sate kok Bi. Tetapi kepingin begituan sama Bi Nah,” aku menandaskan. Ia terperanjat, tetapi cuma sesaat. Beberapa saat ia terdiam sambil menatapiku, sampai akhirnya, “Kalau maumu begitu, nanti kamu boleh melakukannya sepuasmu,” katanya dan kembali membonceng sepedaku.
Sepanjang perjalanan ia banyak bertanya. Soal apakah aku pernah berhubungan dengan perempuan lain dan sebagaimanya. Bahkan tangannya sempat iseng menggerayang ke selangkanganku dan membelai-belai milikku. “Rupanya punya kamu besar juga ya Rin. Belum berdiri saja sudah begini besar.” Aku senang dengan pujian Bi Nah. Pedal sepeda kukayuh kencang agar cepat sampai dan dapat melakukan segala yang ingin kulakukan.
Di rumah, Bi Nah langsung menarikku ke kamarnya. Tetapi aku jadi bingung harus memulai dari mana. Canggung karena belum pernah punya pengalaman intim dengan wanita. Apalagi perbedaan usia kami yang cukup jauh karena saat itu aku belum genap 19 tahun. Hingga aku cuma duduk tercenung di tepian ranjang, sedang Bi Nah duduk di sisi yang lain mengawasiku. Mungkin ia menunggu reaksi dan keberanianku.
Lama aku tak bergeming, Bi Nah akhirnya mengambil insiatif. Ia turun dari ranjang dan mulai mepreteli sendiri pakaiannya. Setelah melepasi kancing-kancingnya, dipelorotkannya daster lusuh yang dikenakannya. Terjatuh dan dibiarkannya teronggok di lantai. Busung dadanya yang besar nampak menggunung karena masih tersangga oleh kutang hitam yang dipakai. Namun begitu BH-nya dilepas, ketahuan bahwa bukit kembar itu telah agak melorot. Putingnya yang coklat kehitaman nampak mencuat menantang. Aku jadi ingat adegan penari striptease dalam film porno karena Bi Nah seperti sengaja mempertontonkan bagian-bagian tubuhnya yang merangsang secara perlahan.
Aku menjadi tidak sabar untuk melihat semuanya karena setelah membuka kutangnya, Bi Nah tidak segera melanjutkan dengan membuka celana dalamnya. Ia asyik meraba dan meremasi sendiri buah dadanya. Ia tahu mataku mulai tertuju gundukan di selangkangannya yang masih terbungkus celana dalam. Namun seperti sengaja ia tidak segera memelorotkan celana dalamnya yang berwarna hitam itu. “Kalau ingin melihat yang ini, kamu harus membuka sendiri celana dalam Bi Nah,” ujarnya tersenyum sambil merabai sendiri kemaluannya dari luar CD-nya.
Bi Nah mendekatiku yang tetap duduk di bibir ranjang. Di hadapanku, dalam jarak yang sangat dekat, sepasang buah dadanya nyaris menyentuh wajahku. Maka aku langsung menyambutnya dengan mengecup salah satu puting dari susu montok itu. Lalu dengan rakus kukulum dan kupermainkan dengan lidahku. “Ssshh.., aahh.., ookkhh..,” Bi Nah mendesah, ketika aku mulai menghisapnya. Tubuhnya kian merapat dan diraihnya kepalaku untuk dibenamkan di kehangatan payudaranya.
Sambil terus melumati puting susunya bergantian kiri dan kanan, tanganku meliar ke bagian lain tubuh bahenolnya. Kuraba-raba pinggulnya dan kemudian beralih dengan meremasi pantatnya. Sedikit demi sedikit kuturunkan celana dalamnya yang juga berwarna hitam. Celana dalam Bi Nah sangat longgar, mungkin karena terlalu sering dipakai. Maka setelah karetnya melewati pinggul dan bongkahan bokongnya, celana dalam itu merosot turun dengan sendirinya.
Benar rambut kemaluan istri Pak Was itu tumbuh sangat lebat. Terdengar bunyi kemerisik saat telapak tanganku mengusap-usapnya. Mungkin karena gesekan tanganku pada rambut lebat dan keriting kecil-kecil itu. Perhatianku jadi beralih ke vaginanya. Turun dari ranjang, aku langsung berjongkok. Sementara Bi Nah mengangkat salah satu kakinya untuk bertumpu pada bibir ranjang. Dalam posisi seperti aku jadi bisa melihat memeknya sampai ke detilnya. Lubangnya yang sedikit menganga dengan bibir kemaluan yang telah berkerut-kerut, juga tonjolan daging kelentitnya. Berbeda dengan bibir luar memeknya yang berwarna kehitaman, di bagian dalam lubang nikmatnya nampak memerah.
“Ayo Rin.., memek Bi Nah bukan tontonan. Jangan cuma dilihati saja. Kamu bisa menjilati atau menghisapnya,” ujarnya tak sabar. Maka kembali kuturuti perintahnya. Tanpa diminta, sebenarnya aku sudah mau melakukannya.
Dengan penuh nafsu kujilati memek wanita setengah baya itu. Baunya sangat khas, sulit kutemukan padanannya. Ketika lidahku menyapu lebih ke dalam bagian lubang nikmatnya, sedikit terasa asin dan berlendir. Tetapi tidak kupedulikan. Lidahku terus kugunakan untuk menyapu sampai ke bagian yang dapat dijangkau. Bahkan kelentitnya yang menonjol berkali-kali kuhisap. “aahhkkhh.., enak sekali Rin. Ternyata kamu sangat pintar. Ya.., ya.. begitu.., aahh.., sshh,.. oohh,”
Bi Nah memintaku melanjutkan adegan itu sambil berbaring di ranjangnya. Tetapi sebelumnya dibantunya aku melepasi pakaianku. Dan atas perintahnya posisi kepalaku diminta berada di bagian bawah tubuhnya dengan bagian tubuhku yang lain berada dekat kepalanya. Seperti membentuk hurup 69. Rupanya dengan posisi itu, kami jadi sama-sama memperoleh nikmat. Aku bisa tetap menilat dan menghisapi kemaluannya, namun ia juga bisa mengulum dan menjilati kontolku sekaligus. Lidah Bi Nah yang menyapu ujung kepala penisku terasa panas, namun sangat nikmat. Terlebih saat mulutnya mulai mengulum dan menghisap-hisapnya. Maka setelah ia telentang dalam posisi mengangkang, aku segera menubruknya dan kembali menjilati kemaluannya.
Cukup lama kami tenggelam dalam kenikmatan posisi 69. Seperti menari lidahku menyapu dan menjilat di kebasahan memek Bi Nah. Menimbulkan bunyi kecipak yang sangat khas, craap.., croop.., srusuup.. Bi Nah terengah, aku pun sesekali mengerang manahan nikmat karena sedotan-sedotan mulut wanita itu pada penisku. Terlebih saat ia mengulum dan melumasi biji pelirku dari luar kantongnya. Sampai akhirnya, tubuh wanita itu mengajang dan kepalaku dijepitnya kencang dihimpit kedua pahanya. “Aahh..ahh..aauuhh, enak sekali Rin, akhh Bi Nah sudah keluar Rin,..sshh..aahhkkhh,” rintihnya sambil menggoyang pantat dan pinggulnya. Ia telah mendapatkan puncak kepuasannya.
Dan tak lama berselang, aku pun mulai merasakan dorongan sangat kuat di penisku. Dorongan yang telah lama kutahan agar tidak jebol. “aa.., aku juga Bi. Akhh.. sshh.. auhh,” aku merintih. Berbarengan dengan itu, dari ujung penisku memancar kuat air maniku. Rupanya Bi Nah terlambat mengeluarkan penisku dari mulutnya saat aku mendapatkan itu hingga sebagian air maniku yang kental berwarna keputihan masuk ke dalam mulutnya. Sebagian yang lainnya berleleran di wajahnya. Wajah Bi Nah tampak puas dengan apa yang diperolehnya.
Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang bongkok udang, nafsu Bi Nah tergolong besar. Terbukti beberapa saat setelah itu, ia kembali melancarkan serangannya. Kontolku yang kembali mengecil dan layu mulai dihisap-hisapnya dengan mulutnya. Bahkan entah disengaja atau, tanpa merasa jijik sapuan lidahnya sampai ke lubang anusku. Geli dan rasanya sangat aneh, namun sungguh sangat nikmat.
Rudalku kembali mendongak tegak. Besar, keras dan siap tempur. Senang karena hanya sesaat bisa membangkitkan kembali, dengan gemas dikocok-kocoknya pelan tonggak daging milikku itu. Wajah Bi Nah tampak puas, senyumnya terlihat mengembang. Adegan berikutnya, sesuatu yang sangat kunanti akhirnya terjadi. Ia bangkit lalu mengambil posisi berjongkok persis di atas pinggangku yang terbaring telentang. Tepatnya persis pada posisi di atas batang zakarku yang mengacung. Saat itu, di mataku, sosok Bi Nah menjadi sangat indah. Belahan memeknya nampak terbuka di antara kaki dan kedua pahanya yang kekar menyangga.
Aku dibuatnya sedikit tegang dan berdebar saat dengan pelan ia mulai menurunkan pantatnya. Ujung penisku terasa mulai menyentuh bukit kemaluannya yang membusung. Sambil menggenggam batang penisku diarahkannya ujungnya tepat di liang sanggamanya. Ssslleesseepp.., bbllees..! Sedikit demi sedikit kontolku masuk di lubang memeknya. Rasanya hangat dan basah. Aku mendesis menahan nikmat yang baru pertama kali kurasakan.
“Enak Rin..,” ujarnya.
Aku mengangguk. Terlebih saat ia mulai menggoyang pelan pantatnya. Milikku serasa diremas-remas dalam kehangatan lubang memeknya. Sepasang payudaranya yang besar dan menggelantung terlihat ikut bergoyang mengundang. Menarikku untuk kembali memegang dan membelai susu-susunya itu. Putingnya kupilin-pilin dan di saat yang lain kuremas-remasnya daging yang terasa kenyal di tangkupan telapak tanganku.
“Ayo Rin.., remas terus susu Bi Nah.., ah.., ah,..shh akh, enaknya kontolmu,” ia terus mendesah sambil menggoyang-goyang pantatnya. Aku jadi kian bersemangat. Saat posisinya kian membungkuk, langsung kusambar putingnya dengan mulutku. Kujilat-jilat dan kuhisap dengan rakus. Bi Nah tambah histeris. Goyangan pinggul dan pantatnya kian menjadi. Keringatnya berleleran, ikut membasahi tubuhku. Baunya sangat khas, bau wanita dewasa yang entah kenapa sangat kusuka.
Beberapa saat dalam posisi di atas, rupanya membuatnya cepat kehabisan tenaga. Ia akhirnya meminta berganti posisi. “Gantian Rin, kamu yang di atas. Mungkin karena Bi Nah sudah tua ya, jadi cepat cape,” katanya.
“Bi Nah belum tua, kok. Masih cantik dan montok..,”
“Ah bisa saja kamu,”
“Bener. Saya pengin terus bisa begini sama Bi Nah,” kataku lagi.
“Bisa Rin, bisa. Pokoknya kalau lagi tidak ada Pak Was dan Pak Dal, Bi Nah pasti siap ngentot sama kamu kapan saja,” ujarnya.
Masih di atas tempat tidur, kini aku bersiap menindih Bi Nah yang telentang mengangkang. Namun tidak seperti sebelumnya, penisku kali ini sulit masuk kendati telah kutekan ke lubang vaginanya. Ia memang sempat menyeka dan membersihkan memeknya menggunakan kain sprei. Mungkin karena itu lubang kemaluannya jadi kering dan menjadi sulit diterobos.
“Sini Rin kontolmu Bi Nah kulum dulu biar basah. Jadi nanti masuknya mudah,” kata Bi Nah setelah aku berkali tak berhasil menusuk liang sanggamanya. Ia bangkit dan mulai mengulum batang penisku yang keras dan berotot melingkar di sekujurnya. Oleh Bi Nah, sekujur batang penisku seolah diguyurinya dengan ludah.
Hasilnya, saat kutusukkan, penis berlumur ludah itu jadi lebih gampang masuk. Maka mulailah aku menggoyang dan memain-mainkan penisku di lubang nikmatnya. Hempasan tubuhku yang mulai naik-turun di atas tubuhnya menimbulkan bunyi seperti decakan karena kemaluan kami yang beradu. Dan sambil melakukan itu, tidak puas-puasnya aku meremasi sepasang susunya yang besar. Putingnya kujilati dan kusedot-sedot penuh nikmat. Variasi sodokan kontolku dan remasan di payudaranya membuat Bi Nah menggelinjang dan merintih.
“Aauuhh.., aauuhh.., oohh.., oohh enak sekali kontol kamu Rin. Ya.. terus sedot susu Bi Nah.., aahh.. ookkhh,” rintihnya sambil menahan nikmat yang dirasakan. Ia terus merintih dan mendesah setiap kali batang penisku kusentakkan di lubang vaginanya.
Serangan balik Bi Nah tak kalah garang. Mengikuti irama turun naik penisku di lubang memeknya, pantatnya kembali digoyang. Bahkan dinding-dinding vaginanya seperti ikut bekerja. Menjepit dan meremas mengikuti irama goyangannya. Akibatnya kami sama-sama terbuai dengan kenikmatan yang tengah kami ciptakan. Kepala penisku mulai berdenyut setiap menerima reaksi jepitan dinding vaginanya.
Sampai akhirnya, gerakan kami menjadi liar. Goyangan pinggul dan pantat Bi Nah semakin cepat dan seolah kehilangan irama. Sama dengan gerakan turun naik tubuhku yang kian terpacu. Dan puncaknya, pertahanan kami sama-sama ambrol. Bi Nah memeluk erat tubuhku setelah mengejang hebat dan cengkeraman di lubang memeknya berubah menjadi menyedot dengan kuat. Maka seiring dengan itu, muncrat pula mani yang kutahan. Kami sama-sama mengerang menahan nikmat yang tiada tara dan akhirnya ambruk terkulai. Saat itu sungsum tulangku serasa dilolosi dan tenagaku habis terkuras.
Sejak malam itu, seperti halnya Pak Dal, aku menjadi kekasih gelap Bi Nah. Dan seperti janjinya, Bi Nah memang tidak pernah menolak setiap aku meminta layanannya. Bahkan ia yang lebih sering mengajak bila tengah tidak melayani Pak Was suaminya atau Pak Dal. Kami leluasa melakukannya di siang hari saat keduanya mencari nafkah.
Hubunganku dengan Bi Nah terputus setelah aku merantau dan menetap di kota lain. Ah, Bi Nah..
Share this article now on :

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive