Selasa, 18 Januari 2011

Surat cinta anak SMA - 3

BAGIAN II
Akhir Dari Cerita

1996
Bandung, Cerita Dosa Sang Bidadari

"Setelah itu dia mengusap kedua susuku. Diremas dan dipermainkan putingnya sambil menggesek-gesekkan batang kemaluannya ke perutku. Lalu dia mencium payudaraku, perlahan diturunkan ciumannya ke bawah. Bibir kemaluanku dijilat, dijulurkan lidah dan menusuk ke dalam lubang kemaluanku. Dijilat, terus jilat dan dijilat sambil tangannya meremas-remas puting payudaraku."
"Setelah sekian menit dalam posisi ini, ada rasa yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Sangat nikmat. Otot lubang kemaluanku seperti tersedot-sedot. Rasanya aku ingin menjerit-jerit dan berteriak untuk melampiaskan nikmatnya. Aku baru tahu kalau itu yang namanya orgasme," lalu Dina terdiam seperti mengenang saat-saat itu.

"Lalu dia merebahkan badanku. Didekatkan pinggulnya ke selangkanganku. Pahanya berada di bawah pahaku. Aku tahu dia akan memasukkan batang kemaluannya. Terasa kepala batang kemaluannya sudah menempel di bibir lubang kemaluanku.Tiba-tiba aku tersentak karena rongga lubang kemaluanku terasa penuh," Dina menutup wajahnya, terlihat sekali dia menahan beban yang berat di dalam hatinya mengenang masa-masa itu.

"Ryan mendongakkan kepala dan memejamkan matanya. Peluh membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Aku pun ikut menaik-turunkan pantatku berkebalikan arah dengan gerakan Ryan. Setiap permukaan lubang kemaluan dan klitorisku menyentuh pangkal batang kemaluannya rasanya indah sekali."

"Setelah itu yang kutahu aku memejamkan mataku, lalu aku merancau tak menentu. Hingga kurasakan rasa yang tadi kualami, lubang kemaluanku kembali seperti disedot-sedot. Aku berteriak dan menggigit bibirku. Rasanya lebih nikmat dari orgasme pertamaku. Tidak lama Ryan juga berteriak. Ouughh katanya," Santi tersenyum ketika dia menirukan ucapan Ryan.

"Terasa hentakan di lubang kemaluanku. Ryan menekan batang kemaluannya sedalam mungkin ke lubang kemaluanku, sambil badannya terhentak-hentak. Terasa tembakan sperma di ujung dalam kemaluanku sekitar 7 kali. Hangat sekali."

"Untuk berapa lama, batang kemaluannya tetap terselip di lubang kemaluanku. Sepertinya kami berdua tidak mau memisahkan kemaluan kami," Dina menghela nafasnya.

"Ya, begitulah kejadiannya," kata Dina mengakhir ceritanya.

Dewa mengusap wajahnya sendiri. Ditahan rasa cemburu di hatinya, biar bagaimanapun kini harapannya mendekati kenyataan.
"Kau tahu aku mencintaimu kan?"
"Ya aku tahu."
"Kumohon jangan katakan lagi tentang Ryan."
"Tapi Wa, aku masih susah untuk melupakannya."
"Janganlah sedetail itu."
"Aku hanya tidak ingin ada bagian yang kulupakan. Akan aku ingat semua kenangan indahku bersama Ryan."

Dewa menatap mata sendu Dina dalam-dalam, memandang ke sepasang mata yang mulai terlihat surut, menghisap rokoknya dalam-dalam,
"Walau bagaimanapun, yang namanya cinta, memang cenderung berakhir menyakitkan, menorehkan luka kenangan yang sulit dilupakan."
"Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?"
"Bagi sebagian iya, bagi yang lain tidak. Kita hanya bisa melanjutkan hidup kita dan menikmati yang tersisa. Kelak akan datang mentari menyapu mendungmu saat ini. Percayalah!"
Dikembangkan senyum, diremas jemari tangan pujaan hatinya.
"Kamu tahu banyak Wa," guman Dina tak tertarik membalas senyum Dewa.
"Aku cuma tahu satu, bahwa aku akan selalu mencintaimu dan menemanimu dalam suka maupun duka," dibuangnya puntung rokok jauh-jauh ke pantai.
Dina hanya bisa menggigit lemah bibir tipisnya.
"Jadi kita jenguk Toni? Kita tidak pernah menjenguknya!" tanya Dewa sambil membersihkan pasir yang menempel di celana.
"Dia takkan mau. Setelah semua yang terjadi, aku rasa dia tak akan pernah mau menemuiku! Aku juga tidak mau menemuinya. Dia mencabut kebahagianku yang hampir jadi nyata!" Dina menghela nafas.

Pre Epilog:

Kalianda, Kisah Ryan menghantar Dina ke Kalianda

Mereka duduk di tepi danau. Setelah sekian lama mereka bersama dalam perjalan menuju Kalianda tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Bergulat tanya haruskah dicurahkan rasa yang seharusnya sejak SMA dulu dikatakan.

"Maaf aku menyusahkanmu."
"Kenapa kau tidak langsung ke rumah saja," Ryan mencabuti rumput di depannya.
"Aku rindu tempat ini."
Ryan melihat ke arah Dina, terbuka mulutnya untuk bertanya suratnya dulu.
"Ada yang ingin kukatakan padamu.."
"Ryan! Mengapa kamu membohongiku?" potong Dina menatap mata lelaki yang sangat dicintainya itu.
"Aku tidak pernah membohongimu," Ryan tidak mengerti maksud perkataan Dina.
"Lima tahun yang lalu aku menunggumu di sini. Dan kau tidak pernah datang."
Terhenyak Ryan mendengar perkataan Dina.
"Aku juga menunggumu, dan kau tidak pernah datang."
Perasaan terkejut kini dirasakan oleh Dina.
"Dimana?"
"Di tempat kita duduk sekarang."
"Dan kau?"
"Sama.. di tempat kita duduk sekarang!"

Ranting dedaunan bergesekan menimbulkan suara gemuruh di telinga mereka. Segemuruh hati mereka yang tidak mengerti atas semua yang terjadi. Jika memang itu yang terjadi mereka telah salah mengira tentang perasaan masing-masing.
"Aku menunggumu Yan!" Dina menahan isak tangisnya.
"Aku cinta kamu," menetes air mata bahagia dari mata Dina.
"Aku juga. Kaulah bidadariku. Tak ada wanita yang kuinginkan selain kamu. Siang dan malam kuimpikan dirimu. Sejak dulu aku ingin mengatakan AKU CINTA KAMU.. DINA."


"RYANN..!" dipeluknya tubuh Ryan sekuat tenaga dalam isak tangisnya yang deras mengalir. Dicurahkan rasa kasih yang ditahannya selama ini. Ryan menyapu lembut bibir bidadarinya dengan tangannya, dibenamkan wajahnya pada rambut Dina dan mencium lembut harum aromanya. "Yan.. cium aku," bisik Dina lirih. Mereka pun bercinta malam itu disaksikan oleh pancaran lembut sinar rembulan yang menyentuh halus tubuh dua insan yang dipenuhi rasa rindu dan kasih itu.

Kalianda, Kisah Toni di waktu yang sama

Toni menginjak keras pedal gas mobilnya. Terbakar emosinya membayangkan Dewa dan istrinya sedang bercumbu. Dibaca lagi surat istrinya:

Ton..!! Aku pulang ke orangtuaku.

Istrimu

Tadi dia sudah ke rumah Dina dan dia tidak ada. Diinjak rem mobil ketika dia sudah sampai ke pelataran parkir danau. Diambil kunci Inggris dan senter dari mobilnya.
"Akan kuhantam palanya dengan kunci ini," ujarnya sambil terus melangkah.
"Aku tahu kau di sini, kau dan Dewa memang sering ke tempat ini. Sama seperti suratmu padanya."
Dicengkeram erat gagang kunci Inggrisnya. Dinaikkan lengan bajunya makin ke atas. Sesaat dia terdiam memicingkan matanya melihat dengan geram dua insan saling berciuman tanpa busana.
"Anjing Luu..!" berlari dia mendekati mereka.
Diacungkan tangannya dan "DAAKK..!" Kunci Inggis menghantam kepala si pria yang berada di samping istrinya.
"Hah.. Ryan..!?" terkejut Toni menyadari bahwa pria itu adalah Ryan.
"Kau memang pelacur..!" dicengkeram leher si wanita, dijotoskan kepalan tangannya ke pipi lalu ditendang tubuh itu. Ditendangnya sekuat tenaga.

Dina hanya bisa menangis menahan sakit. Sekujur badannya terkena sepakan sepatu Toni berkali-kali. Tiba-tiba dirasa matanya berkunang-kunang.
"Anjing luu, dulu Dewa sekarang Ryan..!"
Ditendangnya terus tubuh di depannya sampai akhirnya tak bergerak. Toni terdiam, nafasnya terengah-engah berkejar-kejaran dengan emosinya. Diangkat tubuh istrinya, lalu dibopong ke arah mobil. Cuma satu tujuannya, membawa istrinya segera ke rumah sakit. Kepulan asap mobil berterbangan saat mobil itu melaju, jauh di tepi danau tubuh Ryan terlentang dengan kepala berdarah. Tak lama Ryan menghembuskan nafas terakhirnya.

Bandung, Kisah Dewa di waktu yang sama

Dewa lalu beringsut, dinyalakan korek api dan dibakar surat yang dipegangnya. Surat itu diberikan Toni saat istirahat kedua lima tahun lalu waktu mereka di SMA. Katanya dia menemukan surat itu di bawah meja Dewa. Sekilas dilihat gugup di wajah Toni. Jelas Toni sudah membacanya. Dewa pun membaca isi surat itu. Saat itu sambil tersenyum Dewa mengatakan itu surat Dina untuknya. Sesungguhnya dia tahu, itu bukan untuknya melainkan surat cinta Ryan untuk Dina. Dimasukkan surat itu ke dalam tasnya, terbuka mulut Dewa ingin menanyakan kegugupan di wajah Toni, tapi terdengar derai tawa Dina bersama teman ceweknya datang mendekat. Waktu itu tak ada kata yang terucap dari bibir Dewa selain menyuruh Toni pergi.

Api mulai membakar surat itu meninggalkan noda hitam. Dewa pun memekarkan tangannya membiarkan surat yang masih jelas terbaca itu jatuh.

Telah lama aku menyimpan rasa ini. Sejak pertama kali bertemu aku selalu memimpikanmu di setiap tidurku. Tidak ada yang aku inginkan di hidup ini selain kamu. Aku sudah berlatih mengatakan hal ini langsung padamu. Tapi aku tidak bisa. Setiap berada di dekatmu, hatiku selalu berdebar dan tidak ada kata yang bisa keluar dari bibir ini. Kata hatiku kamu juga mencintaiku, mungkin aku berlebihan menangkap sinyal di matamu. Tapi jika perasaanku benar, datanglah malam ini ke tepi danau. Aku akan menunggumu di sana. Aku akan terus menunggu sampai fajar menyingsing. AKU BENAR-BENAR MENCINTAIMU!

Chopin

Epilog:

Kalianda, 5 Juni 1990, Masa-masa SMA

Sepasang mata yang mengamati sedari tadi lalu berucap, "Dina.. Maafkan aku..!" berjuta bintang di alam raya tapi hanya sang gadis yang dipuja, digesernya ranting yang menusuk pinggangnya. "Aku kaget tadi siang saat Dewa memergoki, untung itu surat Dina, jadi rencanaku masih bisa berjalan. Dewi Fortuna memang mencintaiku," gumannya sambil mendongakkan kepalanya menyapu alam semesta yang luas di atasnya. "Aku terpaksa Dina, agar kau dan Dewa tidak pacaran. Kupikir Chopin nama panggilan Dewa, ternyata itu namamu. Tapi nggak papalah, karena hal itu rencanaku jadi tetap berjalan walaupun Dewa memergokiku. Yang pasti kau tidak akan bertemu Dewa malam ini. Siapa tahu kalian akan saling benci," gumannya sambil matanya terus menerawang memandang bintang yang mulai muncul di langit.

Tak lama diambil tasnya lalu berujar,
"Aku mencintaimu Dina..! Sungguh mencintaimu..!" dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu setelah sosok Dina menghilang tak terlihat. Berjalan dia mengikuti bayangan tubuhnya sendiri hingga pelataran parkir.
"Hey Yan..!" katanya saat melihat Ryan turun dari mobil sambil membawa sekuntum bunga mawar putih. Ryan tak sempat membalas teguran itu karena terburu-buru lari menuju tepi danau.
"Huh..! Sombong sekali dia. Tapi, mana Dewa? Kok dia tak datang malam ini," gumamnya melihat ke sekeliling.

Kini setelah lima tahun mendekati Dina, tetap saja dia tidak mampu menaklukan hatinya. Dia memang masih berhak memiliki tubuhnya, tapi bukan hatinya. Dinginnya udara di ruangan itu kembali menusuk-nusuk tulang di tubuhnya. "Apakah ini hukuman yang harus kuterima atas kesalahanku itu?" katanya mengenang masa SMA. Mata Toni menerawang jauh memandangi sinar rembulan yang masuk melalui sela-sela jendela rumah sakit.

Di depannya tubuh Dina terkapar dengan memar di sekujur tubuh. Toni masih tidak mengerti, mengapa dia jatuh cinta pada wanita murahan seperti Dina. "Dengan Dewa aku tahu dia cintamu. Tetapi dengan Ryan? Kamu memang.. huuhh," terdengar helaan nafas dari mulutnya. Ditahan kata murahan yang tidak jadi diucapkan. Toni berjalan ke bangsal dan menyuruh suster pertama yang ditemuinya untuk menelepon polisi.

Terima kasih kami ucapkan untuk:
Putradewa, Toni, Almarhumah Ryan, dan seluruh kru MoMMa.
Puja dan puji kami ucapkan untuk:
Dina dan bidadari palsu.

Kami tidak mengucapkan apa-apa untuk yang tidak suka cerita ini. Untuk yang suka, kirimkan ide atau inti kisah hidup anda kepada kami. Kru MoMMa akan berusaha keras meramunya dan menyajikannya sesuai permintaan anda. Mungkin anda ingin mengoleksi kisah cinta anda sendiri. (Untuk team editorial, mohon tidak mengedit catatan akhir dari saya. Itu bukanlah advertasing. Cerita yang jadi akan saya kirimkan juga pada anda. Saya adalah penggemar berat situs ini dan tidak pernah mengirim cerita pada situs lain. Hormat saya, Dewa Putradewa).

TAMAT
Share this article now on :

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive